Selasa, 06 Desember 2016

Sebuah Sajak dalam Memoar


Dicela sempit baris gedung pencakar langit
aku memandang kebawah menerobos cendela kaca
Salah satu kota yang masuk kedalam jajaran kota yang ingin kukunjungi
Jogjakarta
Riuh di luar sana
Ribuan kaki berlalu lalang menghiasi jalanan
Aku mematung menebar pandang ke penjuru arah
Angin menerobos masuk menggoyangkan selambu
Menyadarkanku bahwa pesawat ini harus segera terbang
*
Masihkah kau berdiri disana
Kau nama yang selalu ku tulis
Pada setiap lembar kertas
*
Ku lari ke luar kelas
Kemudian ku menulis namamu
Ku kembali ke kelas
Kemudian kumencoret namamu
Ku bosan dengan penat
Kupecahkan bola kaca
Gaduh, mereka mengamatiku
Beberapa hati turut memunguti pecahan kaca
Luka yang kuhadiahkan
Bagaikan puteri, prajurit hati menghapus penatku
Lantunan musik malam membangunkanku
Aku terhisak
Aku ingin mendengar suaramu
Ku ingin mengatakan padamu bahwa aku dalam bahaya
Aku ingin kau disini
Aku kembali terhisak
Semua mustahil
*
Masihkah kau berdiri disana
Kau nama yang selalu ku tunggu
Pada setiap kedipan layar handphoneku
*
Malam pekat dengan penjaja makanan
Lantunan nyanyian malam
Dan ratusan manusia yang menikmati rembulan
Aku ingin mendengar suaramu
*
Pesawat Kertas putih itupun terbang
Disela sela barisan gedung pencakar langit

Terbang dengan percaya diri
Terus terbang tanpa menghiraukan debu ataupun asap yang mengotorinya
Hingga
Angin sudah tak mampu lagi membuatnya terbang
Pesawat kertas itu mendarat
Membawa cerita,
ku ambil kembali ia dari Balkon cendelaku
*
Jangan pernah takut untuk terbang
Aku akan disini di balik cendela ini
Melihatmu mengudara
Aku masih disini
Masihkah kau berdiri disana?
Begitulah sajak perantauanku
-
Aku menyerah kepada Sang Maha membolak balikkan hati hamba-Nya
Sejenak takut mememeluk
Sejenak itu pula motivasi menyapa
Membuatku terjaga
-

Memoar, Jogjakarta, 1-11 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar